Thursday, April 16, 2020

SPASI


Seindah apa pun huruf terukir, dapatkah ia bermakna apabila tak ada jeda? Dapatkah ia dimengerti jika tak ada spasi?

Bukankah kita baru bisa bergerak jika ada jarak? Dan saling menyayang bila ada ruang? Kasih sayang akan membawa dua orang semakin berdekatan, tapi ia tak ingin mencekik, jadi ulurlah tali itu.

Napas akan melega dengan sepasang paru-paru yang tak dibagi. Darah mengalir deras dengan jantung yang tidak dipakai dua kali. Jiwa tidak dibelah, tapi bersua dengan jiwa lain yang searah. Jadi jangan lumpuhkan aku dengan mengatasnamakan kasih sayang.

Mari berkelana dengan rapat tapi tak dibebat. Janganlah saling membendung apabila tak ingin tersandung. 

Pegang tanganku, tapi jangan terlalu erat, karena aku ingin seiring dan bukan digiring. 


Dee-Filosofi kopi

Thursday, April 2, 2020

Menalar Tuhan

Buku ini ditulis oleh seorang rohaniawan katolik juga sebagai budayawan Indonesia. juga beliau adalah direktur program pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara. Buku ini memiliki 235 halaman dan tersebar dalam delapan bab pembahasan. Buku ini berusaha menjawab pertanyaan mendasar yang seharusnya setiap umat beragama mengetahuinya, yaitu mengenai keberadaan Tuhan. 


Menalar Tuhan:untuk apa? 

Fideisme adalah pemikiran yang menganggap bahwa Tuhan tidak dapat dinalar dan atau dirasionalisasikan. Fideisme menganggap bahwa jika kita telah yakin akan adanya Tuhan berikut sifat dan keagungannya maka mengapa masih mempersoalkannya, kita yakin yah yakin saja. Inilah yang juga banyak dialami masyarakat beragama hari ini. Padahal sebagaimana seharusnya umat yang meyakini kepercayaannya adalah kebenaran yang objectif maka wajiblah untuk mempertanggung jawabkan kepercayaannya itu dengan rasional. Orang yang beriman haruslah beriman seutuhnya, dalam arti akal pun harus beriman. 

Dalam mempertanggung jawabkan keimanan dapat dilakukan dengan dua pendekatan, yaitu secara teologis,artinya mendasarkan kebenaran kepada Wahyu agama yang bersangkutan. yang kedua adalah filosofis, artinya mempertanggung jawabkan keimanan secara rasional, dengan menalar, terlepas dari subjektifitas ajaran agama tertentu. Seperti dalam buku ini lebih kepada memberikan argumentasi yang filosofis untuk membuktikan bahwa percaya kepada Tuhan itu sangat masuk akal. 


Cara-cara manusia menghayati Ketuhanan. 

Disepanjang sejarah kehidupan manusia kita dapat melihat keberagaman bagaimana cara-cara manusia menghayati keTuhanan. Mulai dari penghayatan aseli, hinduisme, buddhisme, dualisme, tionghoa, sampai dengan penghayatan abrahamistik, seperti yahwe dan islam. Tetapi pada dasarnya semua jenis penghayatan itu tidak lepas dari tiga penghayatan mendasar, yaitu monisme, dualiame dan transenden; monisme adalah pengahayatan yang menganggap bahwa Tuhan ialah seluruh kekuatan gaib yang meresapi realitas alam, jadi seluruh alam hanya memiliki satu substansi yaitu kekuatan gaib tersebut. Dualisme adalah lawan dari monisme, dualisme melihat relaitas berdasarkan dua prinsip yang saling berlawanan dan tidak memiliki kebergantungan satu sama lain, semisal pandangan orang-orang tionghoa yang percaya pada ying dan yang. Dan transenden adalah penghayatan yang memandang ketuhanan sebagai sesuatu yang sangat sakral dan diluar pengetahuan manusia serta melampaui alam Raya. 


Modernitas :skeptisisme tentang ketuhanan

 
Merasionalisasikan keimanan dalam beragama adalah tanggungjawab sekaligus tantangan bagi mereka yang beriman. Karena untuk mengajak seseorang untuk ikut mengimani apa yang kita imani haruslah dengan argumentasi yang rasional agar dapat diterima secara universal. Itulah yang dituntut pada masa renaissance pada abad ke-19 yang disebabkan oleh empirisme sebagai paham yang memiliki pandangan dunia materi dan menjadikan ilmu pengetahuan sebagai dasar segala sesuatu termasuk kemajuan. Rasionalisme adalah anak kandung dari renaissance,rasionalisme sebagai sikap yang menolak segala kepercayaan yang tidak mampu bertahan dihadapan kiritis akal. Pada masa inilah masyarakat eropa banyak yang skeptis terhadap ajaran agama dan bahkan filsafat pada masa itu dijauhkan dari pembahasan ketuhanan walaupun tidak banyak pula yang bertahan dalam fundamentalisme agama. Ketuhanan dan segala sesuatu yang misterius dalam agama itu ditolak atas nama kemajuan yang menjadikan agama layaknya hanya sebuah ajaran moral belaka. Namun penulis menekankan bahwa apakah sebenarnya yang menjadi tolak ukur kemajuan? Dan bukan tidak mungkin kita melakukan pendekatan ilmiah pada kepercayaan, karena dengan pendekatan ilmiah bukan berarti kita tidak mengakui-Nya. 


Lima model ateisme

Pada masa renaissance sebagai ibu kandung dari rasionalisme membuka jalan lebar bagi lahirnya ateisme. Kita bisa lihat dalam sejarah pada abad ke-19 banyak tokoh-tokoh ateisme yang muncul di eropa sebagai pusat modernitas, diantara tokoh ateis yang termasyhur adalah feurbach;agama adalah hasil proyeksi manusia, karl marx;agama candu, friendrich nietzsche;agama adalah pelarian manusia dari dirinya sendiri,sigmund freud;agama sebagai neurosis kolektif ,dan jen paul sartre;agama menghilangkan kebebasan. Masing-masing tokoh itu memberikan argumentasi yang kuat ,namun dalam buku ini penulis dengan berani mengatakan bahwa argumentasi atau teori dari tokoh- tokoh itu belum mampu membuktikan secara objektif bahwa Tuhan tidak mungkin ada.  Maka dari itu penulis akan menjelaskan  keberadaan Tuhan dengan rinci pada bab 'jalan-jalan ke-Tuhan'. 

Agnotisisme

Berbeda dengan ateisme ,agnotisisme tidak menolak sepenuhnya tentang keberadaan Tuhan, tetapi agnotisisme menunda kepercayaannya tentang keberadaan Tuhan karena menurutnya Tuhan tidak dapat dijelaskan dengan filosofis dan objektif karena konsep Tuhan bukan dari pengalaman manusia. Maka dari itu agnotisisme mengesampingkan Tuhan dari filsafat. Tetapi agnotisisme tidak pula menyalahkan sepenuhnya orang yang meyakini keberadaan Tuhan karena menurutnya kebertuhanan itu urusan pribadi manusia artinya agnotisisme menyerahkan sepenuhnya kepada setiap individu. Sedikit sejalan dengan Pemikiran kant bahwa manusia tidak dapat menentukan secara teoritis eksistensi Tuhan karena Tuhan itu diluar cakupan pengalaman inderawi manusia, tetapi kant tidak sampai disitu. Kant melanjutkan dengan pendekatan moral, bahwa ketidakmungkinan melalui konsep teoritis memastikan eksistensi Tuhan, namun implikasi dari eksistensi Tuhan dalam kesadaran moral tidak terbantahkan. Karena moralitas yang kita sadari sangat irasional jika kita menolak eksistensi Tuhan. Moralitas yang dimaksud adalah kecenderungan manusia yang ingin mencapai kebahagiaan, berbuat jujur, baik dan sebagainya. 


Jalan-jalan ke Tuhan 1

Ada beberapa kejadian atau pengalaman-pengalaman yang dialami manusia jika itu dihayati akan membuat kita dapat menerima keberadaan tuhan, dan tidak rasional jika tidak menerimanya.seperti keterarahan alam semesta yang tak dapat disangkal. Inilah yang disebut oleh penulis sebagai jalan-jalan ke Tuhan. Penulis bukan membuktikan keberadaan Tuhan seperti hitam diatas putih, melainkan hanya membuka kesadaran intelektual bahwa menerima keberadaan Tuhan itu rasional. 

Kita harus jujur bahwa alam Raya ini itu relatif dalam arti bersyarat dan berubah-ubah. Artinya yang bersyarat hanya bisa eksis jika syarat-syarat nya juga eksis. Maka sesuatu yang mutlak yang ada karena dirinya sendiri harus diterima sebagai dasar segala realitas yang relatif, sebab jika semua realitas relatif maka kita akan terjebak pada regressis in infinitum (langkah mundur tanpa henti). Yang dirumuskan oleh hendry de lubac ini menyadarkan kita bahwa realitas alam Raya bukanlah satu-satunya realitas. 

Jalan-jalan ke Tuhan II

Dengan memahami kemutlakan juga merupakan jalan menuju Tuhan. Bahwa dalam kehidupan manusia ada sebuah cakrawala kemutlakan yang darinya membuat manusia mampu membuat pernyataan yang mutlak seperti pernyataan bahwa "sekarang sedang hujan",setiap pernyataan pasti diproyeksikan pada kemutlakan. dan cakrawala kemutlakan bukan objek pengetahuan manusia karena itu berada dalam dimensi transendental menurut kant. Kemutlakan itu transenden dan satu. Karena jika lebih dari satu maka dia tak lagi mutlak karena dibatasi dan terkondisi oleh yang lainnya. 

Kemutlakan dan ketakterhinggan itu nyata adanya,kita bisa melihat dari kebebasan manusia dalam bertindak. Semisal si A diberikan uang, maka si A akan memiliki kebebasan untuk menggunakan uang itu untuk apa. Dan pilihan-pilihan itu selalu pada posisi yang tak terhingga. Karena roh manusia terus terarah pada ketakterhinggan dan melampaui objek-objek yang terbatas. Dapat disimpulkan bahwa apapun yang dihadapi manusia senantiasa berada dalam cakrawala ketakterhinggan. Dan ketakterhinggan itu nyata adanya bukan sesuatu yang kosong. 


Tuhan dan Dunia

Ketika berbicara mengenai Tuhan,kita juga pasti akan berbicara mengenai dunia sebagai entitas selain-Nya. Namun ketika kita berbicara Tuhan yang dibicarakan bukanlah sebagaimana Adanya Tuhan. Melainkan kita hanya mampu menggunakan bahasa-bahasa dialektis, analogi Dan simbol untuk memahami dan menjelaskan-Nya. 

Lantas bagaimana sebenarnya hubungan antara Tuhan Dan dunia?. Inilah Yang juga sering diperbincangkan oleh para filosof. Hubungan antara Tuhan Dan dunia adalah transenden sekaligus imanen. Transendensi dalam arti bahwa Tuhan bukan object pengalaman inderawi Dan melampaui alam raya, serta Dia Yang transenden sama sekali berbeda dengan alam raya dan tak tergantung pada sesuatu apapun termasuk alam Raya karena alam Raya sejatinya diciptakan oleh Tuhan. Tuhan yang tidak terikat oleh ruang dan waktu. Tuhan juga Imanen dalam arti bahwa Tuhan meresapi segala alam raya Dan menjadi dasar dari segala keberadaan realitas alam raya. 

Alam Raya yang keberadaannya bergantung pada Tuhan tidak meniscayakan Tuhan mengatur seenaknya alam Raya itu terkhusus manusia. Karena Tuhan menciptakan atau memberdayakan bukan memperdayakan. Manusia diberikan sepenuhnya kebebasan oleh Tuhan dalam menjalani hidupnya. Maka pertanyaan bahwa mengapa ada kejahatan jika Tuhan itu ada,adalah konsekuensi logis dari kebebasan manusia. Manusia memang memiliki dorongan hati nurani untuk berbuat baik tapi bukan berarti manusia tak bisa menolaknya. Begitupun dengan penderitaan, sebagai bentuk ketidakmampuan manusia dalam mencapai kebahagiaan. kebahagiaan sebagai sesuatu yang diinginkan semua manusia. 
(Jika ada Tuhan, dari mana hal-hal buruk? Tapi dari mana hal-hal baik jika Tuhan tidak ada?) -boethius


Perspektif Resentor

Buku ini sangat menarik untuk dibaca,apalagi untuk teman- teman yang bergerak dibidang Filsafat. Dengan penjelasan yang rasional dan mudah dipahami disuguhkan kepada pembaca sebagai kawan berdiskusinya. Membaca buku ini setidaknya membuat kita paham dan mampu mempertanggungjawabkan apa yang kita imani.


Resentor : Melky JR

HmI Komisariat Metro Unimaju Wujudkan Kader HmI Maju

Mamuju – Pembukaan Basic Training Latihan Kader 1 (Lk-1), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Metro Unimaju, mengambil tem...